KH Miftahul Akhyar, Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), memberikan pesan penting dalam pidatonya saat merayakan Harlah ke-78 Muslimat NU di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, pada Sabtu (20/1/2024).
Dalam sambutannya, KH. Miftahul Akhyar menekankan pentingnya menghormati para pemimpin, baik di tingkat organisasi maupun negara. Beliau menyatakan keyakinannya bahwa tindakan tersebut akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Pidato ini merupakan bagian dari rangkaian perayaan Harlah Muslimat NU yang dihadiri oleh ribuan pengikut dan dihelat di Stadion Utama GBK.
KH. Miftahul Akhyar juga menyampaikan seruan dari panggung Harlah ke-78 Muslimat NU. Beliau mengutip hadis Rasulullah SAW sebagai dasar ajaran untuk menghormati pemimpin. Dalam hadis tersebut, Rosulullah menekankan pentingnya kesabaran dan menasihatkan agar umat tidak melakukan perlawanan atau demonstrasi ketika menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan.
“Walaupun yang memimpin kalian adalah Abdun Habsyiun (budak Habsyi dari Ethiopia), rambutnya yang ikal bagaikan buah anggur (kismis), kalau itu memang sudah disepakati sebagai pemimpin kalian, berikan (ketaatan)!” katanya
Presiden Joko Widodo turut hadir dalam acara ini dan memberikan sambutan setelah pidato Miftahul Akhyar. Tokoh-tokoh NU lainnya, seperti Ketua Umum PP Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa, Yenny Wahid, dan Habib Luthfi, juga turut serta dalam perayaan tersebut.
KH. Miftahul Akhyar melanjutkan pidatonya dengan menggambarkan sikap yang seharusnya dimiliki oleh rakyat terhadap pemimpin. Beliau menekankan bahwa rakyat harus bersikap sabar dan tidak seharusnya mengadakan demonstrasi sebagai bentuk ketidaksetujuan.
“Dan manakala kalian menerima hal-hal yang tidak mengenakkan, mungkin merasa dinomorduakan, jangan melawan, jangan demo, sabar, kata Rasulullah SAW,” ujar KH. Miftahul Akhyar.
“Alhamdulillah di Indonesia ini, kita tahu sendirilah, mana yang layak untuk dihormati, nomor 1, nomor 2, atau kelas 1, kelas 2, sudah terbukti,” tambahnya.
Perayaan Harlah ke-78 Muslimat NU ini menjadi momentum untuk merenungkan pesan-pesan penting dari para pemimpin agama, seperti yang disampaikan oleh KH Miftahul Akhyar, serta untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI.
KH Miftahul Akhyar mengajak seluruh jajaran NU, badan otonom (banom) serta masyarakat luas untuk menghindari kekacauan, kegaduhan, dan taat pada pemimpin. “Saya minta kepada jajaran NU beserta banomnya, mari berikan ketaatan, itu keindahan NU. Bukan karena pimpinan ingin ditaati. Karena ketaatan adalah modal besar,” kata Kiai Miftah, sapaannya.
Dalam NU yang berakidah Ahlussunah wal Jamaah, lanjut dia, warga akan selalu menunjukkan sikap dan taat kepada pimpinan. Mendengarkan dengan sesungguhnya dan menaati apa yang sudah jadi keputusan pemimpin.
Pemimpin yang dimaksud menurut Kiai Miftah adalah bisa bermakna pimpinan organisasi, pimpinan negara, ulil amri, meskipun Indonesia bukan negara berdasarkan agama. Secara darurat pemimpin negara adalah pemimpin yang harus ditaati. “Sehingga barang siapa yang menaati pemimpin dalam segala lapisan, maka Allah akan memuliakannya,” tegasnya.
Pengasuh Pesantren Miftakhus Sunnah Surabaya ini menyebut, apabila pemimpin sudah disepakati maka harus ditaati. Jika tidak sepakat dengan kebijakan atau keputusan maka jangan berkhianat. Menurutnya, barang siapa menghinakan para pemimpin, menyebarkan kabar buruk tentang pemimpin yang bertujuan merusak nama baiknya, meremehkan pemimpin maka Allah akan membalasnya.
Dikarenakan, orang yang hobi menyebarkan kabar jelek, terhadap orang yang telah beriman kepada Allah, maka akan mendapatkan siksa berupa sanksi di dunia dan akhirat. “Karena ciri karakter orang NU, menyimpan rasa saudaranya. Apalagi kabar tersebut tidak valid, tanpa tabayun, klarifikasi,” pungkasnya.
Selain itu, dalam doanya, KH. Miftahul Akhyar berharap agar Allah SWT terus memberikan kebaikan bagi rakyat Indonesia dan menjaga kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mempertahankan NKRI dianggapnya sebagai ajang dakwah Muslimat NU.